Cara memanggil ikan

Memanggil ikan di laut atau di perairan agar mendekat biar gampang terperangkap jaring maupun jala nelayan mungkin masih sulit ditemukan. Lalu Selamat Marta Dinata alias Memet (23) bisa menjawab kelangkaan itu. Dengan alat bikinannya yang mengeluarkan suara dan cahaya, ikan ditanggung bakal mendekati bunyi dan sinar itu.
“Saya sebut saja ‘API’ (alat pemanggil ikan), daripada susah-susah mikir,” ujar Memet mengenai nama rakitannya itu.
API terbuat dari komponen yang biasa digunakan sebagai bahan baku produk elektronik, seperti transistor frekuensi rendah, transformer (trafo frekuensi), piezo (penghasil/pengatur tingkat suara), kapasitor elektrolit dengan kertas sebagai filter RC (resistor-capasitor), dan lampu led super yang memproduksi suara.
Perangkat itu dilengkapi baterai, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kedap air terbuat dari plastik kaca, yang biasanya digunakan sebagai wadah bumbu merica. “Dulunya pakai tupperware, meski suaranya konstan, karena tidak dilengkapi piezo,” tutur Memet mengungkap tahapan temuannya itu.
API, yang secara teknis komponennya lebih sempurna dibandingkan dengan alat sebelumnya itu, menghasilkan lengkingan frekuensi suara 10 kHz- 150 kHz dan jangkauan daya bias lampu mencapai 200-500 meter pada malam hari. Dari hasil uji coba alat yang dimasukkan pada kedalaman laut dua-tiga meter di perairan Batu Nampar,Lombok Timur, diketahui bahwa yang memburu suara dan sinar itu adalah udang lobster, ikan layar dan kapas, kepiting, serta ikan-ikan kecil.
API itu digantungkan pada jaring angkat yang diletakkan sekitar 6-10 meter kedalaman laut. Sekitar 15-30 menit setelah alat diaktifkan, kawanan ikan berdatangan, jaring pun diangkat pelan-pelan, sehingga ikan itu kena serok. Malah dengan frekuensi 45 kHz- 90 kHz, alat tersebut dikatakan mampu memanggil ikan sepanjang satu jengkal dan selebar lima jari orang dewasa.
Memet menciptakan temuannya itu setelah terinspirasi oleh tayangan televisi yang menyiarkan beragam temuan teknologi, seperti bagaimana memanggil anjing dan kelelawar dengan memakai frekuensi ultrasonik. “Anjing pelacak bisa dipanggil dengan peluit yang bila ditiup tidak terdengar kuping manusia karena frekuensinya di bawah 30 kHz. Batas frekuensi yang tertangkap genderang telinga manusia maksimal-minimal 30 kHz,” ucapnya. Sedangkan “memanggil-mengusir tikus dan nyamuk, saya ketahui dari buku ilmiah,” ujarnya lagi. Memet yang saat itu masih kelas I Sekolah Teknik Menengah (STM) Wiraswasta Cimahi, Bandung, Jawa Barat, tergugah. “Jika binatang bisa dipanggil, mengapa pola yang sama tidak diterapkan pula pada ikan?” ucapnya.
Anak pertama dari empat bersaudara pasangan Lalu Kartawinata (almarhum)-Neneng Herawati ini lalu memulai proses kreatifnya. Dia lantas membeli radio, amplifier, dan televisi rongsokan di pasar loak yang harganya rata-rata Rp 1.500-Rp 5.000 per unit, dengan menyisihkan jatah uang jajannya. Barang elektronik itu dibongkar, komponennya yang masih layak pakai dirakit lagi.
Dia juga mempelajari perilaku ikan yang gemar mengejar dan mengelompok pada plankton yang mengeluarkan cahaya berkedap-kedip di malam hari, sehingga “di mana ada sinar, di situ biasanya banyak ikan. Dan, sebagai pengganti cahaya plankton, saya gunakan lampu led super yang kilatannya 500 meter per 0,5 detik sampai satu detik di dalam air, seperti kilatan lampu blitz,” tuturnya.
Setelah setahun berkutat dengan peranti elektronik, Memet berhasil merakit alat yang diinginkan saat di kelas II. “Tinggal di mana alat ini saya uji coba,” tuturnya.
Beruntung dia punya teman yang berasal dari Desa Cihampelas, Kecamatan Cililin, Bandung, yang memiliki beberapa petak kolam ikan air tawar. Memet diizinkan menggunakan dua petak kolam. Kolam pertama diisi ikan, kolam kedua tanpa ikan, hanya berisi air yang disalurkan melalui saluran dari kolam pertama. Alat ciptaannya itu dicelupkan ke kolam yang kosong ikan, dan sekitar 15 menit kemudian ikan di kolam pertama menyerbu kolam kedua melalui saluran tadi.
Memet tampaknya belum puas bila alat itu cuma digunakan di kolam di darat. Dia ingin agar ‘API’-nya dapat dimanfaatkan dalam skala yang lebih luas, yaitu di laut, guna membantu para nelayan. Niat itu dilatarbelakangi oleh “wilayah negara kita sebagian besar berupa kepulauan”, juga kehidupan nelayan yang serba susah, sementara hasil tangkapannya sebatas untuk membiayai hidup satu-dua hari.
Saking terdesak oleh tuntutan hidup, tidak sedikit nelayan yang berpikir pendek, seperti meracik bahan tertentu kemudian dipakai untuk ngebom, atau memakai potasium. Pola seperti itu menjadikan ekologi dan ekosistem laut rusak.
Hanya saja, niat Memet tak begitu saja kesampaian. Selain dia tak punya biaya, tempat tinggalnya di Bandung relatif jauh dari laut. “Kita baru ketemu laut empat jam perjalanan dari Bandung,” ujarnya. Baginya, Bandung kurang memungkinkan untuk mengimplementasikan alatnya itu.
Akhirnya, setelah tamat STM, Memet pulang ke tanah kelahirannya di Lombok, tinggal di rumah bibinya di Jalan Gunung Kawi, Mataram. Lombok, atau Nusa Tenggara Barat (NTB), yang secara geografis sebagian besar wilayahnya berupa laut, memberi peluang besar baginya untuk memasyarakatkan temuannya itu.
“Di Lombok, jalan dalam hitungan menit, kita sudah sampai laut,” katanya. Betapapun, dia harus bekerja keras mencari kawan dan relasi untuk memperkenalkan temuan dan pengakuan dari banyak kalangan. Awal tahun 2002, dia mengajukan proposal ke Kantor Bappeda NTB, dengan harapan lembaga ini mau membiayai penelitian dan temuannya.
Tanggapan instansi itu positif dan dia diminta menunggu kabar lebih lanjut. Seraya menunggu kepastian, Memet mengajukan proposal yang sama ke Kantor Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB, yang kemudian merekrutnya sebagai tenaga kontrakan. Masa kontraknya berakhir Desember 2002. Melalui balai inilah Memet punya banyak kesempatan mewujudkan cita-cita membuat temuannya.
Memang, teknologi sederhana itu belum bisa digunakan secara massal kendati dari aspek efektivitasnya dinilai sudah layak. “Sebagai produk massal, kan, saya butuh detailnya. Misalnya, bila frekuensinya segini, jenis ikan apa yang mendekat,” katanya.
Memet yang lahir 1 Maret 1979 di Mataram merasa yakin, perusahaan di Tanah Air mampu memproduksi tabung-salah satu komponen yang sangat ia butuhkan-dengan mutu yang diperlukan untuk API-nya.
Ia mengharapkan teknologi sederhana itu dapat diproduksi secara massal, apalagi setelah ditotal, harga per unitnya dinilainya tidak terlalu mahal, sekitar Rp 200.000-Rp 250.000, sehingga dapat terjangkau para nelayan di Tanah Air yang kemampuannya sangat terbatas. Dengan alat ini, nantinya, pola penangkapan ikan secara destruktif bisa ditekan.
Memet kini bangga, sebab dari API, dia termasuk dalam 11 orang yang mendapat “Anugerah Teknologi Terapan” dari Pemerintah Provinsi NTB dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun NTB pada 17 Desember 2002. Namun, penghargaan itu bukanlah tujuan akhirnya.
Tahap berikutnya, “bagaimana para nelayan bisa membawa pulang ikan dengan menggunakan alat yang saya buat”, adalah cita-cita Memet, yang, meskipun masih dalam usia muda, mau memikirkan kehidupan rakyat kecil.




0 Comments